Mohon maaf, kelanjoetan posting daripada ini BLOG dilanjoetken ke:

http://pattiro.net/blog/

digaboengken dengan daripada kita poenya Perpustakaan Pattiro

Silahkan berkoenjoeng!
untuk registrasi kontributor silahkan hoeboengi andymse@gmail.com
Terimakasih...

Episode Babat Alas Pendidikan Indonesia

oleh Rokhmad Munawir (PATTIRO Magelang)

Manusia dan pendidikan adalah ibarat dua sisi mata uang yang sukar dipisahkan. Manusia sangat membutuhkan yang namanya pendidikan guna menjalani kehidupannya. Oleh sebab itulah pendidikan adalah hak setiap manusia yang harus ia dapatkan. Bahkan negara kita, telah menjaminnya dalam konstitusi tertinggi negara yaitu dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 31, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa setiap manusia yang hidup dan tinggal di Indonesia dimana pun ia tinggal, apa pun status sosialnya, apakah ia miskin atau kaya, apa pun suku dan bahasa serta agamanya adalah dijamin oleh konstitusi haknya atas pendidikan.

Indonesia sudah beberapa kali bongkar-pasang kurikulum. Namun sayangnya bongkar-pasang kurikulum kita selalu episode babat alas bagi sistem pendidikan kita. Pembangunan pendidikan kita seolah kurang bahkan tidak berjalan secara berkesinambungan. Selalu berhenti pada satu babak dan dimulai kembali episode baru, yang sama sekali berbeda. Mulai kurikulum 1984, 1989, 1994 dan terakhir adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) bergantilah dengan KTSP. Selalu ada ciri dan spesifikasi khusus. Semuanya dilakukan atas dasar guna peningkatan mutu pendidikan.



Sebenarnya permasalahan mutu pendidikan terkait dua hal penting yaitu penerapan kurikulum yang tepat dan terkait dengan peran guru. Kurikulum kita selama ini belum memberikan ruang kreasi siswa (didaktis pedagogis) sehingga kreasi siswa dapat lebih bermakna. Siswa banyak tahu informasi, tetapi ia tidak tahu apakah informasi tersebut bermakna bagi kehidupannya atau tidak. Paulo Freire menyebutnya dengan banking concept of education atau pendidikan gaya bank, dimana guru hanya berperan sebagai penabung yang mendepositokan banyak informasi kepada siswa, tetapi tidak pernah membicarakannya untuk apa informasi itu harus dikuasai siswa. Idealnya, proses belajar mengajar menuntut guru dan siswa untuk bersikap lebih toleran, menjunjung tinggi prinsip kebersamaan dan kebhinekaan serta menganut pola berpikiran inklusif. Dengan demikian guru dan siswa dapat secara bersama-sama belajar menggali kemampuan masing-masing secara optimal.

Pola yang diterapkan bukan lagi sistem pengajaran akan tetapi sistem pembelajaran. Untuk itulah guru dituntut untuk lebih profesional. Rencana pembelajaran dibuat berdasarkan kemampuan dasar untuk dapat digali dan dikembangkan oleh siswa. Tugas guru bukan lagi “menabung”, tetapi peran guru lebih sebagai fasilitator pendidikan. Untuk mendukung semua itu maka filosofi konstruktivisme perlu diketahui oleh guru. Metode pembelajaran discovery dan contextual learning sangat diperlukan. Guru harus lebih sabar, penuh perhatian dan pengertian, mempunyai daya kreatifitas yang tinggi dan dedikasi penuh. Sehingga akan menimbulkan sebuah persahabatan dan rasa kekeluargaan antara guru dengan siswa. Sebab guru mampu berperan tidak saja sebagai orang tua di sekolah akan tetapi guru mampu menjadi sahabat tempat bertanya dan teman diskusi. Namun tetap dalam ikatan yang etis dan dinamis serta tetap menghormati.

Banyak kalangan menilai bahwa reformasi dunia pendidikan Indonesia berjalan sangat lambat, salah satunya disebabkan karena guru, banyak guru yang tidak mau berubah, mereka inginnya sistem dan kurikulum seperti yang sudah-sudah. Padahal guru adalah motor penggerak kemajuan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga kemampuan dan kemauan guru dalam menyesuaikan sistem pembelajaran adalah sesuatu yang mutlak dilakukan serta dedikasi yang tinggi terhadap kemajuan pendidikan.

Bangsa dan negara ini sangat membutuhkan sosok guru yang sadar betul bahwa tugas dan profesinya sebagai pendidik adalah sebuah panggilan hidup, dengan sikap tersebut maka akan muncul sosok seorang guru yang profesionalitasnya tidak diragukan, punya sikap demokratis, penuh dedikasi dan mampu berfungsi sebagai seorang intelektual. Sebab tantangan pendidikan kita saat ini sangat besar, mutu pendidikan kita sudah sangat rendah baik dari sisi teknologi (iptek) maupun moral-kemanusiaan.
Selain lebih mengoptimalkan peran guru, kebiasaan bongkar pasang kurikulum harus dihentikan. Kecepatan inovasi sangat dihargai. Namun, biarkan sistem yang dibangun tersebut berjalan dan waktu yang akan menentukan. Pergantian kebijakan pendidikan juga harus dihilangkan. Ganti menteri jangan ganti kebijakan. Akhirnya babat alas lagi. Jika demikian halnya, maka jangan salahkan jika guru tidak mau berperan secara optimal.

Guru juga manusia. Butuh waktu untuk belajar dan menyesuaikan diri pula. Bukan sebuah robot yang dapat dijalankan dan dihentikan setiap saat sesuai kemauan si pemilik. Ketika episode babat alas ini tidak segera diakhiri, maka sampai kapan pun pendidikan Indonesia akan biasa-biasa saja. Pembangunan yang berkesinambungan itulah kuncinya. Monitoring dan evaluasi (monev) adalah sesuatu yang harus dilakukan. Diawasi, diamati kemudian dievaluasi apa yang menjadi kekurangannya dan apa kelebihannya. Yang kurang diperbaiki dan yang lebih atau baik dipertahankan dan ditingkatkan. [*]

Tulisan ini dimuat pada Majalah LePas Edisi Juni 2007


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://pendidikan.infogue.com/episode_babat_alas_pendidikan_indonesia